Hidup untuk kerja ataukah kerja untuk hidup?



Pagi ini, aku mendengar berita yang sangat tidak terduga² dari percakapan telepon antara Bapakku dan Lek Dwi (adik iparnya ibu).

Bapak : "Piye Lek, jare Diaz lara. Ning rumah sakit ngendi?"
Lek Dwi : "Nganu e De, saiki kie malah ra ono.."
Bapak : "Weh...lha gek kapan leh ra ono?"
Lek Dwi : "Mau bengi. Sore ne bar tak gowo ning klinik mung di kei obat, bengi ne malah ra ono..."
Bapak : "Yo wes, ngko aku karo Mak ne tak moro rono."

Saat itu aku yang masih ada di kasur dengan selimut yang tebal karena dinginnya Jogja saat ini, tak peduli lagi dengan dinginnya aku langsung keluar kamar dan menanyakan percakapannya dengan Lek Dwi tadi. Aku hampir tidak percaya...Diaz meninggal...
Bayi kecil mungil, berusia sekitar 6 bulan...baru lucu-lucunya, jadi keinget Shava, kelahirannya hanya selang sebulan dengan Shava. Pagi ini pun adalah peringatan 6 bulan kelahirannya Shava, ibuku udah menyiapkan sayur-sayuran untuk di buat 'bancakkan'. Sepulang dari pasar, diberi tau Bapak kalo Diaz meninggal, semua belanjaannya diletakkan begitu saja dan dia langsung duduk di lantai. Termangu dan hanya diam, lalu dia melihat Shava yang saat itu sedang di mandikan, air matanya pun menetes... Aku yang memerhatikannya sejak tadi, langsung masuk kamar dan menyembunyikan air mataku.

Diaz... yang selama ini aku memang belum pernah melihatnya, karena kesibukanku sampai aku aku sama sekali tidak bisa menjenguknya saat dia lahir sampai saat ini. Kesibukanku mengambil kesempatanku. Bahkan untuk saat ini pun, kesempatanku untuk melihatnya, untuk terakhir kalinya, telah di renggut oleh kesibukan pekerjaanku.

Seharusnya pekerjaanku tidaklah sibuk, ato hanya aku saja yang membuatnya sibuk? Mungkin aku terlalu terobsesi dengan pekerjaanku, sampai kepentingan lainnya aku tinggalkan.
Barusan saja, aku harus menghentikan menulis postinganku ini untuk menerima telepon Bu Nina, "Mbak Rini, besok bisa bantu di pameran kan?". Pameran Texcraft yang diselenggarakan di JEC tanggal 11-15 Juli 2007. (info detail :Kembali Digelar ’The 3rd Texcraft’ )
Entah kenapa aku langsung saja meng-iya-kan tawaran itu, ditengah pekerjaan-pekerjaan ku yang lain. Entah kenapa aku tidak bisa menolaknya. Mungkin aku sudah terbiasa kerja keras, sampai ibuku sendiri pun bilang, "Rumah ini hanyalah sebagai tempat persinggahan untuk tidur saja." Lalu aku harus gimana?

Keberadaanku di rumah memang tidak menentu, tapi selalu ada di atas jam9 nan karena aku pulang kerja jam segitu. Apalagi ini mau di tambah pameran yang jam pulangnya sampai jam10-11 malem. Aku jadi tambah ga bisa ketemu orang-orang rumah, aku selalu berangkat sebelum mereka bangun dan pulang setelah mereka tidur... sedihnya... Haruskah aku menghentikan pekerjaanku?

2 Response to "Hidup untuk kerja ataukah kerja untuk hidup?"

  1. Anonymous Says:
    July 10, 2007 at 7:50 PM

    emang kalo ketika kita punya sebuah keinginan, kita rela bekerja keras....tapi kalo sudah terkabul mendingan pikirkan juga orang-orang rumah. merke membutuhkan kehadiranmu, mungkin sebagai teman bercerita, bercanda, berbagi....banyaklah


    pisss aaaah

  2. anapalis says:
    July 13, 2007 at 3:39 PM

    Aku kangen kamu juga Mas Jok, lama ga bersua yah... itu bukan karena kesibukanku juga, soalnya Mas Jok kalo diajak maen nolak terus seh.